Solo - Di Kota Solo, ada satu sajian kuliner yang sangat menarik karena hanya bisa ditemukan saat bulan Ramadan di Masjid Darussalam, Jayengan, Serengan. Sajian ini dikenal dengan sebutan Bubur Samin.
Dilansir Diskominfo Surakarta, Kamis (7/4), bubur dengan cita rasa gurih yang terbuat dari beras, daging sapi, susu, rempah, dan santan ini menjadi makin istimewa karena diolah dengan resep khusus yaitu minyak samin dengan ciri khas warna kekuningan.
Dibagikan secara gratis oleh takmir Masjid Darussalam, pembuatan bubur ini dimulai sekitar pukul 11.30 WIB hingga 15.00 WIB oleh juru masak masjid. Biasanya dalam sehari, bubur ini membutuhkan sekitar 45-50 kg beras untuk 1.000 porsi.
Karena kelezatan yang ditawarkan dan nuansa khas yang disajikan, bubur ini banyak diburu oleh masyarakat. Tak hanya dari Kota Solo saja, warga Soloraya seperti Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, hingga Klaten juga banyak yang mencari bubur ini sebagai menu takjil.
Setiap menjelang Ashar hingga Adzan Maghrib berkumandang, warga mulai berdatangan membawa tempat makan sendiri dan mulai memenuhi area masjid untuk antre sembari mendengarkan alunan tembang doa takmir Masjid.
Miftahul (30 th), warga Serengan saat ditemui Rabu (6/4), mengaku sangat senang karena bisa menikmati bubur samin lagi. Ia rela mengantre bersama keluarganya untuk dapat menikmati berbuka puasa dengan bubur legendaris ini.
"Kalau puasa tidak berbuka dengan Bubur Samin rasanya ada yang kurang. Kita sudah dua kali tidak bisa menyantapnya. Ramadan tahun lalu dan sebelumnya, tidak ada pembagian bubur Samin. Rasanya kurang lengkap saja," ujarnya.
Bubur Samin sebenarnya bukanlah makanan yang berasal dari Kota Bengawan. Bubur ini merupakan kuliner yang berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang merupakan makanan biasa yang mudah ditemukan dan tidak harus menunggu saat Ramadan tiba.
Dahulu sekitar tahun 1907, banyak saudagar dan perajin batu mulia serta pendatang dari Martapura yang merantau ke Kota Solo. Mereka kemudian mendirikan langgar atau musala di Jayengan dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Di situlah perantau Martapura ini kemudian terus berkembang. Hingga akhirnya pada tahun 1930-an, langgar atau musala yang sekian lama telah berdiri dan digunakan untuk berbagai aktivitas keagamaan kemudian dibangun kembali menjadi sebuah masjid dengan dinding tembok.
Masjid ini kemudian dikenal dengan nama Masjid Darussalam. Sejak dulu, selain digunakan sebagai tempat ibadah dan menjalankan aktivitas keagamaan, masjid ini juga digunakan sebagai tempat pertemuan para saudagar di Kota Solo.
"Ketika mereka berkumpul dan bersilaturahmi, terutama saat Bulan Ramadan, bubur samin ini selalu dihidangkan sebagai takjil untuk berbuka puasa. Awalnya hanya kebiasaan, kemudian berubah menjadi tradisi yang terus dilestarikan sejak sekitar tahun 1960-an hingga sekarang," tandas Nurcholis, salah satu panitia pembagian bubur samin Masjid Darussalam.