Labuan Bajo - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya manajemen pengelolaan air dalam menghadapi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan berbagai skenario dari yang paling risiko rendah hingga skenario terburuk dengan risiko yang sangat tinggi. Pasalnya, pola cuaca ekstrem di Indonesia saat ini jauh lebih sering terjadi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hal itu dikatakan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam seminar bertema “Water Resource Management in Responding of La-Nina Phenomenon” di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, baru-baru ini, seperti disebutkan dalam siaran pers BMKG, Kamis (16/12).
“Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim adalah benar-benar nyata,” papar Dwikorita.
Biasanya lanjut Dwikorita, Indonesia hanya terkena bagian ekornya siklon saja, tapi sekarang justru bibit siklon tersebut muncul dan terbentuk di wilayah Indonesia. Terakhir, Siklon Tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April lalu
Dwikorita mengatakan bahwa saat terjadi cuaca ekstrem akibat La Nina maupun siklon tropis, debit air akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan periode hujan yang terus berubah dari tahun ke tahun sejak adanya perubahan iklim akibat pemanasan global.
Ketidaksesuaian kapasitas dan kesiapan dalam menghadapi tingginya curah hujan inilah, kata dia, yang lantas membuat air meluap dan meluber tidak terkendali sehingga menimbulkan bencana banjir. Ditambah, pola hidup masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan sehingga membuat sungai semakin dangkal dan penuh sesak sampah.
“Manajemen air dari hal kecil, seperti irigasi di desa dan perkotaan hingga waduk penampung air yang dimiliki Indonesia saat ini sejatinya sudah bagus, hanya saja perubahan iklim membuat semuanya menjadi berbeda,” imbuhnya.
Dwikorita menyebut bahwa saluran irigasi, sungai hingga waduk tidak siap dan belum dirancang dalam menghadapi pola cuaca ekstrem saat perubahan ikllim.
"Karenanya, BMKG mendorong agar manajemen pengelolaan air di Indonesia juga turut mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan pola perubahan iklim yang ada," imbuh Dwikorita.