Batang – Kekhawatiran terhadap perajin muda Batik Rifaiyah di Desa Kalipucang Wetan yang terus berkurang karena tergerus oleh modernisasi, menjadikan para pemerhati industri batik di Kabupaten Batang berupaya meregenerasi dengan mengenalkan keterampilan yang telah turun menurun dari leluhur.
Upaya itu diwujudkan dengan menggelar Art & Dialog Indonesia bersama Portland Textile Month tentang Batik Rifaiyah secara virtual.
Pendiri Rumah Budaya Babaran Segara Gunung (BSG) Yogyakarta, Agus Ismoyo menyampaikan, kegiatan ini dikolaborasikan dengan event yang digelar di Kota Portland Amerika Serikat.
“Saya pilih Batik Rifaiyah karena masih memiliki nilai tangible atau aset fisik nilai moneternya terbatas maupun intangible atau aset non fisik di era industrialisasi, agar bisa berkembang dan bisa membawa dampak positif dari sudut pandang ekonomi bagi perajinnya,” katanya, saat ditemui di Kampung Batik Rifaiyah, Desa Kalipucang Wetan, Kabupaten Batang, Senin (10/10).
Cara membatik Rifaiyah yang dinilai unik pun diupayakan agar terus lestari.
“Membatik dengan cara melantunkan syair-syair pujian terhadap Allah SWT harus terus didengungkan oleh generasi muda, agar tetap lestari,” jelasnya.
Dialog akan digelar hingga beberapa sesi. Di antaranya membagikan pengalaman bersama generasi muda bersama pemerhati seni membatik dari Institut Seni Indonesia (ISI) hingga Amerika Serikat.
Pembatik Rifaiyah, Maslikha menuturkan kemampuannya menorehkan goresan-goresan motif batik di selembar kain, didapatnya dari leluhurnya.
“Saya sering mengamati nenek dan ibu membatik. Akhirnya timbul rasa senang, dan mau meneruskan keterampilan seni membatik Rifaiyah agar tidak punah,” ungkapnya.
Ia mengakui, dari tahun ke tahun memang jumlah perajin batik di Kampung Batik Rifaiyah makin berkurang.
“Dulu waktu saya kecil sampai 80 pembatik, sekarang tinggal 60 perajin,” tuturnya.
Ia mengharapkan, ada pelatihan secara berkelanjutan untuk generasi muda, supaya seni membatik Rifaiyah tidak punah.
“Alasannya sangat klasik, generasi muda tidak mau membatik karena dari sisi ekonomi kurang menguntungkan. Untuk menghasilkan satu karya saja harus menunggu 4 bulan, mereka tidak sabar, akhirnya lebih memilih ke industri konveksi yang lebih cepat mendatangkan pundi-pundi rupiah,” terangnya.
Beberapa motif juga sempat ia tunjukkan dalam event Art & Dialog Indonesia bersama Portland Textile Month.
“Ada 24 motif yang diturunkan antara lain : Lancur, Banji, Tambal, Kotak Kitir, Gemblong Sak Iris, Romo Gendong, Pelo Ati dan lainnya,” ungkapnya.
Ke-24 motif tersebut membutuhkan waktu pembuatan yang cukup lama. Maka untuk mengatasi agar sisi ekonomi keluarga perajin tetap terjaga, maka muncullah motif lain yang dibuat dalam waktu singkat.
“Ada motif Bangbiron Kasaran yang dibuat hanya tiga minggu dengan harga jual Rp500 ribu sampai Rp700 ribu. Sedangkan khusus motif yang sesuai pakem Rifaiyah dibuat hingga 4-5 bulan dengan harga jual Rp3,5 juta,” ujar dia.