Labuan Bajo - Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit / Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan menggelar kegiatan peningkatan kompetensi pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan tingkat Kabupaten Manggarai Barat tahun 2021, Senin (20/9).
Kegiatan yang digagas Kemenkes ini bekerjasama dengan Pemkab Manggarai Barat melalui Dinas Kesehatan (Dinkes). Kegiatan akan dilaksanakan selama lima hari dan diikuti oleh dokter dan Perawat Pengelola Program Kesehatan Jiwa dari 22 Puskesmas yang tersebar diseluruh wilayah Manggarai Barat, RSUD Komodo, RS. Siloam dan RS St. Yosep.
Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng, saat membuka kegiatan menyampaikan apresiasi dan rasa terimakasih atas respon cepat yang dilakukan Kemenkes terhadap permintaan Pemda Mabar terkait peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di daerah Destinasi Pariwisata Super Premium Labuan Bajo.
"Sekitar sembilan hari yang lalu kami mengajukan permohonan ke Kemenkes terkait Penguatan Program Pelayanan Kesehatan bagi tenaga kesehatan di Mabar.Kegiatan hari ini merupakan respon cepat Kemenkes terhadap permintaan tersebut, kami sangat mengapresiasi dan menyampaikan terimakasih," ucap wabup Mabar yang biasa disapa dr Weng tersebut.
Dijelaskan Weng, di Manggarai Barat jumlah ODGJ (Orang Dalam Gangguan Jiwa) Tahun 2020 sebanyak 420 Orang, sampai dengan bulan Agustus 2021 meningkat menjadi 441 kasus, yang mana belum semua penderita ODGJ ini mendapat pelayanan kesehatan maksimal di Faskes, dan 12 kasus masih terpasung (data akhir 2020).
"Melihat banyaknya jumlah kasus ODGJ di Kabupaten Manggarai Barat maka diperlukan sebuah program pengembangan kesehatan jiwa yang menyasar berupa peningkatan kapasitas melalui Pelatihan, praktik kerja/magang, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, penjangkauan dan pendampingan kasus kesehatan jiwa di FKTP, dan Pengadaan obat kesehatan jiwa," ucapnya.
Wabup Mabar menegaskan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kabupaten Manggarai Barat mencanangkan daerah bebas dari pamasungan terhadap ODGJ.
"Secepatnya kami berkomitmen bahwa daerah ini tidak ada lagi pemasungan bagi ODGJ, Mabar bebas dari pemasungan ODGJ," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit/Direktorat P2 Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan dr Celestinus Eigya Munthe mengatakan, tujuan dari kegiatan pelatihan ini yaitu meningkatnya pengetahuan tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa.
"Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan sehingga pelayanan kesehatan jiwa di Provinsi NTT khususnya di Manggarai Barat menjadi optimal. Mengingat masih kurangnya kapasitas tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa di daerah ini," imbuhnya.
Dijelaskannya bahwa jumlah ODGJ yang dilaporkan pada bulan Desember tahun 2020 di Provinsi NTT sejumlah 7.770 orang. Sementara sampai pertengahan 2021, jumlah ODGJ di Provinsi NTT termasuk yang tertinggi di Indonesia Timur dengan jumlah sebanyak 5.555 orang dengan rincian ODGJ Berat sejumlah 4.368 orang.
"Untuk itu, diperlukan sebuah program pengembangan kesehatan jiwa yang menyasar khusus Provinsi NTT berupa peningkatan kapasitas melalui praktik kerja/magang, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan, penjangkauan dan pendampingan kasus kesehatan jiwa di FKTP, dan Pengadaan obat kesehatan jiwa," katanya.
Celestinus menyampaikan bahwa dari data Riskesdas tahun 2007 dan Riskesdas tahun 2013, ditemukan bahwa semakin lanjut usia, semakin tinggi gangguan mental emosional yang dideteksi. Depresi juga dapat terjadi pada masa kehamilan dan pasca persalinan, yang dapat mempengaruhi pola asuh serta tumbuh kembang anak.
"Maka upaya-upaya dalam peningkatan kesehatan jiwa masyarakat, pencegahan terhadap masalah kesehatan jiwa dan intervensi dini gangguan jiwa seyogyanya menjadi prioritas dalam mengurangi gangguan jiwa berat di masa yang akan datang. Beban yang ditimbulkan akibat masalah kesehatan jiwa cukup besar," ungkapnya.
Di samping itu, Celestinus mengatakan bahwa masalah kesehatan jiwa tersebut dapat menimbulkan dampak sosial antara lain meningkatnya angka kekerasan baik di rumah tangga maupun di masyarakat umum, bunuh diri, penyalahgunaan napza (narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya), masalah dalam perkawinan dan pekerjaan, masalah di pendidikan, dan mengurangi produktivitas secara signifikan.
"Hal ini perlu diantisipasi, mengingat WHO mengestimasikan depresi akan menjadi peringkat ke-2 penyebab beban akibat penyakit di dunia (global) setelah jantung pada tahun 2020, dan menjadi peringkat pertama pada tahun 2030," jelasnya.